image by http://psychosocial.svenskakyrkan.se/
Agama merupakan panduan moralitas manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan adanya kesadaran beragama, manusia akan memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya kehadiran manusia lain. Manusia lain tersebut tentu memiliki berbagai perbedaan dan keunikan tersendiri. Mulai dari suku, agama, ras, maupun golongan. Perlu adanya sebuah kesadaran untuk menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.
Perbedaan memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari di negeri ini. Para founding fathers secara tepat merumuskan bentuk negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler yang tentunya akan menimbulkan berbagai konflik. Pilihan untuk menjadi negara non agama memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian, dan menjunjung tinggi kemerdekaan. Rumusan para founding fathers menjadi sebuah kecermatan dan kecerdasan yang digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan bersama akan adanya sebuah ketenteraman dalam bermasyarakat.
Keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan agama hanya menjadi sebuah harapan ketika sebuah rezim berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Rezim otoriter dengan Soeharto sebagai pimpinannya, telah membatasi ruang kebebasan publik. Dalam menjalankan sebuah agama, masyarakat harus mengikuti pola rezim yang sedang berkuasa. Pilihan untuk menjalankan sebuah agama atau keyakinan di luar agama yang telah ditetapkan pemerintah mustahil untuk terjadi. Hal tersebut kemudian menimbulkan sikap intoleran, parokal, dan genthoisme dalam masyarakat yang kemudian berujung dengan adanya sebuah konflik. Kekerasan maupun konflik semacam ini tentu saja menciderai ketenangan kehidupan beragama di dalam masyarakat, dan di tingkat internasional, telah mencoreng wajah Indonesia yang sering mencitrakan diri sebagai negara yang menghormati kebebasan beragama.
Sikap buruk yang muncul pada masyarakat menciptakan sebuah ancaman tersendiri terhadap kelangsungan hidup beragama di negeri ini. Antara sesama penganut agama sarat dengan adanya pertikaian, permusuhan, bahkan pembunuhan. Lebih ironis lagi, agama dijadikan sebuah pembenaran untuk melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak pantas untuk dilakukan tersebut.
Adanya sikap tertutup dan saling curiga antaragama juga menjadi sebuah hal yang berpotensi menimbulkan konflik. Agama semula ditujukan untuk menciptakan keserasian antar hamba Tuhan. Akan tetapi, dengan adanya sikap tertutup dan saling curiga antaragama, hal tersebut seakan sulit untuk diwujudkan. Kegiatan yang dijalankan oleh suatu agama dianggap sebagai sebuah ancaman bagi agama lain. Sebagai contoh, pendirian rumah ibadat dianggap suatu ekspansi yang akan merugikan agama lain. Pendirian ruma ibadat yang semula ditujukan sebagai sumber kebaikan dan kemaslahatan, malah menjadi sumber sengketa dan pertentangan.
Keterkaitan yang berlebihan terhadap simbol agama seperti Masjid dan Gereja juga dinilai sebagai sebuah sumber konflik. Masjid dan Gereja bukan lagi sebagai sebuah tempat sakral tetapi sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Kebanggaan adalah sesuatu yang identik dengan kesombongan, maka jika kesombongan tersebut ternodai, konflikpun tidak dapat dihindari. Akibatnya, sikap saling membunuh muncul. Padahal, rumah ibadat yang dibangun tersebut ditujukan sebagai sarana belajar bagaimana untuk menjalin rasa cinta antar sesama hamba Tuhan.
Akar sebuah konflik tidaklah tunggal seperti didasarkan pada perbedaan keyakinan dan doktrin. Hal tersebut menuntut sebuah penyelesaian dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Perbedaan merupakan rahmat dari Tuhan. Jadi, kita harus menghormati adanya perbedaan tersebut. Dengan sikap saling menghormati diharpakan dapat terciptanya masyarakat yang aman dan tenteram tanpa adanya sebuah konflik.
0 komentar:
Posting Komentar